Ketika itu aku di ajak nenek ku pergi menjenguk tetangga kami yang sedang sakit. Berangkatlah aku, nenek dan seorang saudaraku untuk menjenguk tetanggaku yang sedang sakit itu. Awalnya ku kira rumah yang sedang sakit itu jauh, ternyata letaknya sangat dekat. Dijalan aku mendengar suara sayup-sayup seperti bayi yang sedang menagis.
Tibalah kami kerumah tetangga yang sedang sakit itu, ternyata suara yang tadi ku dengar  semakin jelas terdengar karena berasal dari ibu tetangga  yang sedang sakit itu. Nenek ku langsung memberi salam kepada nenek yang usianya sekitar 70 tahunan, kamipun mengikuti beliau ke kamar dan di sana terbaringlah seorang ibu yang sedang menjerit-jerit pedih menahan kesakitan yang amat sangat. Kami langsung duduk sedangkan nenekku langsung bertanya keadaan tetanggaku yang sedang sakit itu sambil memijat-mijat kakinya. Nenekku menasehati beliau agar selalu bersabar dan pasrah dan ibu itu hanya bisa menjawab nenekku dengan teriakan kesakitannya antara sadar dan tidak sadar. Kemudian nenekku mengajak beliau untuk membaca do’a dan dua kalimah sahadat meskipun tidak jelas kurasa beliau mengikuti kalimah-kalimah yang di ucapkan nenekku.
Karena tidak kuat terus berada di dalam kamar aku dan tetanggaku yang tadi ikut menjenguk pun keluar. Aku tidak tega melihat ibu yang sedang sakit itu terus menjerit-jerit kesakitan tanpa henti, lalu bagaimana ketika malam hari? Ternyata nenek yang tadi usianya sekitar 70 tahun itu ibu dari ibu yang sedang sakit itu. Beliau bercerita bahwa anaknya mengidap penyakit kanker rahim atau kanker seviks. Sudah tiga tahun anaknya sakit dan tahun ini penyakitnya sudah sangat parah. Beliau pun menyayangka n keadaan anaknya ini dan sangat sedih karena tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Bukannya beliau sejak awal sudah pasrah dan tidak berobat, ibu itu sudah membawa anaknya ke puskesmas yang letaknya jauh dari kampung tapi tidak ada hasilnya. Membawa anaknya untuk berobat ke jakarta atas saran dari puskesmas pun hanya membuahkan kepahitan, pasalnya disana mereka hanya dibiarkan dan tidak mendapatkan penangan secara profesional jika tidak memiliki uang. Bahkan untuk sarapan pun cukup membuat kantong mereka menipis karena harganya yang mahal sedangkan disana mereka hanya dibiarkan begitu saja, meskipun yang katanya ada bantuan pemerintah tapi ternyata mana? Keyataannya adalah tidak ada yang geratis untuk seorang pasien yang mengidap kanker serviks tanpa uang dan uang. Sungguh ironis. Aku turut perihatin dengan cerita yang nenek itu sampaikan, namun bagaimana pun aku juga ingat mungkin itulah nasib anak nenek itu.
Sebagai orang kampung yang minim pengetahuan biasanya inilah yang terkadang dipandang sebelah mata, padahal sebagai manausia kita mempunyai hati dan rasa berperikemanusiaan yang harusnya mendorong kita untuk saling membantu, tapi uang sepertinya sudah membutakan hati nurani orang-orang. Mungkin jika aku orang yang kaya yang mapu memberikan materi untuk menolong nyawa orang lain sepertinya aku tidak akan berfikir dua kali, meskipun urusan hidup atau mati ada di tangan Tuhan. Namun aku hanyalah orang biasa yang sejak 5 tahun lalu ikut bersama keluargaku merantau ke kota, dan aku sangat bersyukur karena Allah telah memberiku kehidupan yang lebih baik ketimbang jika aku hidup dikampung. Aku hanya bisa mendo’akan ibu yang sedang sakit itu agar diberi kesembuhan jika memang Allah SWT. Menghendaki dan memudahkan kematiannya jika memang takdirnya. Ketika pulang aku terus merenung dan menyadari bahwa tiada tempat bergantung selain Allah, hanya Allah, hanya Allah...
Pagi-pagi sekali nenekku memberi tahu bahwa ibu yang kami jenguk kemarin sudah meninggal pada tengah malam. Dan aku menjadi tenang karena kabar itu, karena beliau sudah tidak akan merasakan kepedihan lagi hidup di dunia tetapi jika di akhirat wallohualam...karena tergantung amal kebaikan kita masing-masing selama hidup didunia yang akan menentukan baik buruknya di alam alam kubur.